Beasiswa: Wujud Nyata Ungkapan “Udang di Balik Batu”
Karena kuliah & beasiswa bukanlah endgame, melainkan new level unlocked.
Kuliah sering disebut sebagai masa transisi karena ada banyak banget perubahan yang terjadi dalam hidup suatu individu (iya, baru selesai tugas biologi makanya kosakata yang digunakan kayak gini). Kalau misalnya kuliah aja udah cukup menantang, memenuhi kriteria beasiswa akan lebih menantang lagi, kan?
With that, I call myself out.
Aku engga pernah berekspektasi kalau ngejar beasiswa itu mudah. Aku lebih berharap kalau hasil usahanya berbuah manis. Jadi waktu pertama kali sampai sini, sambil eksplor kampus dan menikmati fasilitasnya yang bejibun, aku sempet ngerasa kalau aku pantas akan apa-apa yang kudapat saat ini. Ini parah banget, karena nothing will happen unless He said yes, right?
Yang jadi masalah, ketika aku mulai ketinggalan, aku denial. Aku lempar kesalahan ini segala macem pihak.
“Iyalah temen-temenmu bisa. Mereka rara-rata anak olim.”
“Iyalah yang lain ga kesusahan, Bahasa Inggris bahasa utama mereka.”
“…”
Kayaknya flashback ngeles ini cukup disini aja, suram sekali soalnya :’
Tapi serius, aku sempet ngerasa dunia universitas bukan sesuatu yang aku banget. Temponya sangat cepat, sedangkan materinya dalam. Belum selesai satu hal udah keburu masuk materi lain. Lab, yang kutunggu banget karena sekolah sebelumnya belum ada lab ternyata jadi salah satu sumber stres paling menantang di semester kemarin. Beradaptasi dengan dunia perkuliahan, dan melakukannya di negara asing jelas memberi tantangan yang lebih tinggi lagi. Setidaknya, buat aku pribadi.
Faktor jurusan juga hal yang masih menjadi kekhawatiran. Memulai perjalanan kuliah sambil ditanyain nanti mau kerja apa, diwanti-wanti masuk dunia penuh kaum lanang, sampai ada yang pernah bilang takut sama aku karena ambil jurusan ini, jelas bukan garis start terbaik. Kalau misalnya belum apa-apa udah begini, apakah nanti ga makin lelah buat menghadapi tekanan yang lebih tinggi? Sesuai ekspektasi, nilai-nilaiku di matkul-matkul sains… rendah sekali :)
Poin terakhir: status beasiswa. Dikelilingi putra-putri terbaik bangsa di bidangnya masing-masing kadang masih membuatku merasa lain sendiri. Melihat mereka engga terlalu merasa kesulitan, aku kagum. Melihat mereka kesulitan, aku makin kagum. Kalau mereka kesulitan, chance of survival-ku gimana?
Karena kadang rasanya mau balik aja, aku beberapa kali menghubungi orang-orang di ujung dunia sebelah sana; menanyakan kabar, meng-update isu (baca: gosip) terbaru dari mereka, sampai ikut misuh jika keadaan kami sama-sama suram (yang alhamdulillahnya jarang terjadi).
Dengan menghubungi orang-orang di rumahku di ujung dunia sebelah sana, aku mulai sadar kalau kita semua lagi kesulitan. Memiliki teman yang sejurusan namun beda negara juga lebih membantu dalam membandingkan kondisi, dan makin sadar kalau aku ga sendirian:
- Waktu aku merasa dikejar banyak tugas, sangat umum di Indonesia untuk mengambil SKS lebih banyak di tahun pertama.
- Yang aku rasa materinya banyak, di Indonesia kelasnya lebih banyak lagi.
- Kalau aku lagi engga mau berhubungan dengan matematika, aku selalu inget kalau sangat umum buat ambil lebih dari satu matkul berbau matematika di saat yang sama di tahun pertama.
Untuk memanusiakan pengalaman yang rasanya kayak cobaan ini, aku coba manusiakan pengalaman teman-teman seperjuangan yang tersebar di muka bumi ini:
- Mereka yang ga perlu belajar pake bahasa kedua, jumlah sksnya kemungkinan lebih besar.
- Mereka yang ngerasa materi kuliah bukan hal baru, memang dulu diamanahkan untuk belajar supaya mewakili negara dalam kondisi terbaik, untuk mencapai prestasi yang terbaik pula.
- Mereka yang bisa sambil kepanitiaan dan organisasi yang banyak banget itu biasanya sambil mengorbankan jam tidur, yang mana aku anti banget untuk melakukan hal tersebut :)
- Mereka yang ga pernah cerita kesulitan apa-apa, bisa jadi cobaannya lebih berat dan belum tentu punya privilege untuk belajar mengungkapkan apa yang mereka rasa.
- jelas masih banyak lagi, namun aku kira segini cukup.
Membahas privilege hidupku sendiri, rasanya aku sudah sangat diberkahi. Dikelilingi orang-orang tetep suportif meskipun sebenernya sering mempertanyakan keputusan-keputusan yang kubuat, bisa mengusahakan jalur beasiswa yang nyatanya butuh modal buat dapet, serta bisa mengejar mimpi tanpa harus mengalah demi kepentingan lain, jelas sudah merupakan keuntungan tersendiri.
Kalau inget secara tidak langsung kuliahku dibiayai orangtua dari teman-teman dan segenap rakyat nusantara, malu rasanya kalau aku ‘kalah’ tanpa berjuang sama sekali. Juga, sebagai anak pertama yang berpengalaman menjadi salah satu lulusan pertama di dua sekolah berbeda, aku tau banyak ‘nama’ yang akan terimbas kalau perjuanganku berhenti di sini.
Yang paling penting, terlepas dari baik-buruknya jejak masa laluku, Allah setuju dengan mimpiku yang satu ini. Harusnya fakta ini bisa jadi lebih dari sekadar lampu hijau untuk terus lanjut di jalan yang sedang kuhadapi.
Kesimpulan: engga ada jalan lain selain bangkit dan berjuang kembali.
Akhir kata, aku sadar bahwa mendapat beasiswa bukanlah langkah terakhir, melainkan sekadar masuk ke ruang permainan baru. Tanggung jawab yang membarengi pernyataan penerimaan penerimaan beasiswa terlalu besar untuk tidak diberi perhatiannya sendiri.
Pertanyaan: Apakah aku langsung berubah?
Jawab: Oh tentu tidak :D
Tapi, setidaknya aku masih disini, perlahan menata rutinitas dan memperbaiki niat belajar sejauh ini. Langkahnya pun sederhana: mengurangi tugas-tugas yang telat dikumpulkan, sedikit lebih gigih mencari jawaban sebuah soal, dan meluangkan waktu lebih banyak untuk bersosialisasi bersama teman-teman yang sudah sangat berprestasi di bidang masing-masing. Siapa tau ketularan, ya ga? :D
Kabar semester 2? Kuserahkan saja pada Yang Di Atas 🙏
That is all for the reading week, I guess.
Sampai nanti!
*Buat yang merasa topiknya ga terlalu fokus di beasiswa, aku setuju *tos*. Sayangnya aku belum menemukan judul yang lebih oke, jadi kubiarkan begini dulu.