Apa artinya menjadi seorang keturunan Minang?
Sebuah renungan kecil ketika pulang kampung.
Berbeda dengan banyak kebudayaan lain di Indonesia, budaya Minang menggunakan garis keturunan ibu untuk menentukan keturunan, kampung, suku, dan banyak hal berbau adat lainnya. Beberapa kali ke Sumatera Barat, selama ini aku hanya pernah mengunjungi Payakumbuh, yang merupakan kampung ayah dan kakek. Bisa disimpulkan aku belum pernah pulang kampung ke ‘kampungku yang sebenarnya’. Jadi, ketika orangtuaku menelepon dan merencanakan untuk pulang kampung lagi ke Sumatera Barat, dan mengunjungi kampung ayah DAN ibuku, aku menyambutnya dengan sangat bersemangat.
Selama bersiap, aku mulai berangan tentang suasana kampungku, orang-orang yang tinggal disana, rumah seperti yang akan kulihat, dan banyak lainnya. Aku juga berpikir apakah nanti aku mengenali mereka dan mereka mengenaliku . Sebagai anak perempuan, yang nantinya melanjutkan garis keturunan, aku memiliki kewajiban adat tidak tertulis bahwa sebaiknya anak gadis minang pernah menyempatkan diri untuk pulang ke kampungnya sekali seumur hidup. Belum pernahnya aku pulang kampung ke Sulit Air, Solok (kampung nenek dan ibuku) membuatku berharap banyak tentang kampungku ini.
Setelah menempuh perjalanan sepanjang tiga hari yang dipenuhi berbagai kejadian, akhirnya sekitar 01.30 pagi kami sampai di Sulit Air. Dari awal datang, kami sudah sibuk menyerap lingkungan baru ini. Masuk rumah, seperti banyak orang yang pergi ke suatu tempat untuk pertama kalinya, kami celingak-celinguk melihat segala hal di dalam rumah. Tapi hal itu harus segera berhenti karena kami belum tarawih, jadi kami shalat terlebih dahulu. Selesai shalat, ketika anggota keluargaku yang lain langsung jatuh tertidur, aku masih sempat mengobrol bersama tuan rumah dan nenekku. Mereka memperkenalkan diri, keluarga masing-masing, hubungan dengan keluargaku, pengalaman-pengalaman dan nostalgia masa lalu, dan banyak lainnya.
Awalnya, aku merasa tidak masalah dengan banjir informasi yang kuhadapi. Toh ini memang pertama kalinya aku pulang kampung ke sini. Bukankah hal normal kalau misalnya aku tidak tahu apa-apa?
Tapi semakin lama aku mengobrol dengan para tuan rumah, aku sadar bahwa aku merasa kosong. Hampir tidak ada rasa familiar ketika berinteraksi dengan mereka. Tidak ada rasa familiar dengan bahasanya, muka-mukanya, lingkungannya, dan masih banyak lagi. Aku sempat berpikir tentang bagaimana seharusnya tempat ini merupakan ‘rumahku’. Bagaimana ini bisa jadi rumahku ketika aku merasa asing dengannya?
Aku sempat merasa sedih. Meskipun aku bahkan belum pernah kesini, entah mengapa aku merasa sedang mengabaikan sebuah tanggung jawab.
Tapi setelah kupikir lagi, aku tidak pernah jauh dari budaya Minang. Masa kecil dan sekarangku selalu diisi oleh nilai-nilai utama adat Minang, tanpa pernah kusadari. Sebelumnya bersekolah di sekolah alam, menyukai traveling dan membaca buku-buku dan menonton film berbau budaya Minang seperti karya-karya Ahmad Fuadi (terutama buku yang berjudul “Anak Rantau”) membuatku tidak akan pernah jauh dari ungkapan “Alam takambang jadi guru”. Menjalin hubungan baik dan berdiskusi dengan orang-orang sekitarku menanamkan nilai silaturahmi dan musyawarah. Ini semakin diperkuat ketika melihat acara-acara adat yang kuihadiri bersama kakekku yang merupakan mantan ketua adat. Selalu berusaha menghadirkan Islam dalam kehidupanku sehari-hari merupakan usaha mewujudkan ungkapan “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” (Adab bersendi agama, agama bersendi kitabullah). Bahkan rasanya aku sekarang bersekolah di luar kota merupakan salah satu keluarga kami menjaga kebiasaan orang minang lainnya, yaitu merantau.
Setelah menyadari hal itu, aku merasa lebih baik dan bersyukur. Aku bersyukur bahwa aku tumbuh dengan budaya yang baik. Dan itu dibuktikan paginya. Setelah sahur, tidur lagi (ehehe maafkan :), aku berkesempatan untuk mengenal kampungku lebih jauh..Aku bisa mengeksplorasi, menyapa orang-orang dan berinteraksi secara langsung, aku merasa lebih nyaman dan kerasan dengan kampungku.
Existential Crisis kecil-kecilan yang kualami, lengkap dengan akhir dari exitential crisis tersebut bukanlah hal yang sia-sia. Sekarang aku sadar, sebagai seorang pewaris budaya, tugasku adalah untuk mengambil segala yang baik dan menjaganya. Kata-kata seorang teman (sebenarnya adik kelasku, tapi tidak apa ehe) mewakili tugas ini dengan baik: “Kita bisa mengambil selembar kertas, mengeluarkan sebuah pena, dan menulis ulang melanjutkan episode-episode hidup.”
Semoga aku dan para generasi selanjutnya di luar sana mampu untuk melakukannya dengan baik.
Sekian. Semoga bermanfaat!