A blessing taken for granted
…sampai kotak bertuliskan ‘opsional’ pun engga pernah kosong lagi.
Tanpa disadari, hidupku di Kanada hampir berumur 5 bulan. Rasanya udah baik-baik aja, tapi semester baru jelas menuntut adaptasi lagi. Melewati hari dengan jalan kaki dari asrama-kelas-dining hall-kelas-asrama (pola yang terbentuk karena ada jatah makan, kalau engga kayaknya ga bakal bolak-balik gini), udah jadi makanan sehari-hari. Kagum sama segala macam fasilitas kampus, nangisin tugas yang sebenernya engga harus ditangisin, merayakan nilai pass ketika rasanya bisa lebih, sebelum akhirnya mematikan ‘mode murid’ dan menyalakan ‘mode turis’. Yah, sebenarnya ‘mode murid’ sudah dinyalakan kembali selama 3 minggu ini.
Kemarin, sebelum menghadapi tugaas ATSC yang kayaknya dipikirkan terlalu dalam, aku mencari tempat shalat. Mau numpang kamar orang, antara ga muhrim atua ragu apakah bener di kamarnya atau engga. Jadilah aku shalat di pojok tangga Feast yang di ujung satunya (cue warga-warga Totem Park). Agak malu karena sempet ada orang yang stops in their tracks, nunggu aku selesai baru jalan, tapi lebih baik dari pada ga dikerjain sama sekali :)
Shalat di tempat umum menyadarkanku atas salah satu perubahan paling signifikan: waktu shalat. Dulu, aku bisa dengan enaknya ngomong “nanti ketemuan abis ashar ya”, atau “aku berangkatnya setelah zuhur ” ke hampir semua orang, karena rata-rata ada gambaran kapan waktu shalat muncul. Sekarang, ketika jam matahari berubah-rubah terus, selalu ada kekhawatiran apakah aku bisa shalat tepat waktu. Contoh: maghrib jam 16.56–18.27, padahal kelas BIOLku semester ini jam 17.00–18.30. Jadilah aku shalat di ujung tangga lainnya biar ga telat-telat banget.
Apakah sampai situ saja? Tentu saja tidak :) Kewajiban shalat mengejarku di tengah ujian, karena ujian disini minimal 2.5 jam padahal rentang waktu shalatnya bisa lebih kecil dari itu (dzuhur 12.08–13.57, ujiannya jam 12.00–14.30, 15/12/23). Untuk pertama kalinya, aku bersama beberapa teman lain harus izin untuk shalat di tengah ujian. Aku sendiri milih begini karena sepanjang pemahamanku, ujian bukanlah udzur untuk menjama’ shalat.
Yang paling berkesan, semua kotak bertuliskan ‘penjelasan tambahan (opsional)’ dalam formulir pendaftaran volunteer atau kerja selalu kuisi satu hal: penjelasan mengenai shalat, dan pertanyaan apakah bisa aku tetep menjalankan posisi kalau aku harus shalat di tengah kegiatan.
Lagi, Alhamdulillah responnya positif, cuma fakta bahwa aku harus menuliskan itu tiap kali untuk minta waktu dan tempat tetaplah… hal baru. Hal ini jadi salah satu motivasi pulang (LOL). Aku kangen shalat tanpa harus minta izin mencari tempat kosong, atau di tempat-tempat yang… kurang umum lainnya. Aku kangen adzan, kangen juga akses wudhu yang lebih mudah dari wastafel di kamar mandi (ada kok, tapi cuma satu di seluruh kampus sebesar UBC).
Hikmahnya buatku apa? Sesuai judul. Suatu keberkahan bisa ga ada artinya sampai akhirnya dicabut dari hidup. Dan seperti manusia pada umumnya, ‘berkah’ itu harus beneran dicabut dariku sebelum akhirnya terasa sebagai ‘berkah.’ Agak sedih, tapi ini membantuku buat lebih awas dan sadar diri akan waktu shalat, yang dulu engga terlalu kurasakan karena bisa bergantung dengan adzan.
Oiya, gapapa kok untuk terbuka soal kewajiban dalam beragama, dibanding misuh di belakang waktu ga difasilitasi karena ga koordinasi dari awal (menurutku ya ges).
Masalah shalat mungkin menjadi satu dar sekian banyak alasan untuk kembali. Tapi bisa mengekspresikan kewajiban satu ini dengan bebas sudah lebih dari cukup untuk bertahan disini.
Sampai ketemu lain kali!